4.03.2010

P. Antasari

SEMANGAT, PERJUANGAN, DAN KETOKOHAN P. ANTASARI DALAM DE BANDJERMASINCHE KRIJG

Oleh Zulfa Jamalie

(Pengurus elkisab: Lembaga Kajian Islam, Sejarah, dan Budaya Banjar)

email: elkisab@yahoo.co.id

Waja sampai ka puting itu semboyan Papadah perjuangan para pahlawan Marangut hati saling muwaran Amun Melihat Sultan bacakut papadaan Kada ingatkah wan papadahan Junjung titah sang Pangeran.
Abstrak

Tulisan ini menguraikan tentang kepemimpinan P. Antasari ketika memimpin rakyat Banjar, Ngaju, Maanyan, Siang, Sihong, Kutai, Pasir, Murung, Bakumpai dan beberapa suku lainya yang berdiam di kawasan dan pedalaman atau sepanjang Sungai Barito untuk mempertahankan kemerdekaan hidup, agama, nilai, budaya, kekayaan, alam dan bumi Kalimantan dari serbuan dan pengambilan paksa penjajah. Perlawanan terhadap Belanda ini dikenal sebagai Perang Banjar (De Bandjermasinche Krijg) dan terjadi tahun 1859-1905. Istilah Perang Banjar tidak hanya meliputi kawasan Propinsi Kalimantan Selatan sekarang ini, tetapi meliputi pula Propinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Sebab, kawasan Banjar pada waktu dulu tidak hanya mencakup seluruh daerah Propinsi Kalimantan Selatan sekarang, akan tetapi juga mencakup daerah; Pamukan, Pasir, Kutai, Berau, Karasikan (Kalimantan Timur), Sabangau, Mandawai, Sampit, Kuala Pambuang, Kota Waringin, Muara Teweh, Puruk Cahu, Kapuas (Kalimantan Tengah), Sukadana, Lawai, dan Sambas (Kalimantan Barat). Tulisan ini sekaligus pula menganalisis nilai-nilai perjuangan yang telah diwariskan oleh P. Antasari bagi generasi sekarang, misalnya semboyan perjuangan haram manyarah waja sampai ka puting serta modal perjuangan, yakni moralitas agama dan keberanian.

Pengenalan

Salah satu semboyan yang sangat populer dan memberikan pengaruh cukup signifikan terhadap semangat juang serta ruh perlawanan masyarakat Banjar terhadap penjajahan Belanda dalam peristiwa De Bandjermasinche Krijg atau Perang Banjar tahun 1859-1905, dan perang dalam rangka merebut serta mempertahankan kemerdekaan negara Indonesia di banua adalah Haram Manyarah Waja Sampai Ka puting. Namun seiring dengan perkembanga masa dan zaman, di tengah berbagai permasalahan yang menyelimuti pembangunan di banua, konstelasi politik, dan sebagainya, adagium tersebut tampaknya mengalami radiasi dan degradasi, sehingga daya dan ruh yang terkandung di dalamnya seakan dianggap sudah kadaluwarsa dan tidak signifikan lagi untuk menjadi landasan aparatur pemerintah daerah, pengambil kebijakan, dan seluruh komponen masyarakat Banjar dalam langgam gawi sabumi, kayuh baimbai membangun banua. Sebab fenomena yang lebih sering terjadi adalah bacakut papadaan, tampulu aku bakuasa, apa untungnya sagan aku, urang-urang aku-aku, manimpakul, dan sebagainya. Sehingga agar daya dan ruh yang terkandung dalam adagium itu tetap menjadi penyemangat masyarakat Banjar dalam berjuang membangun diri dan banuanya menuju kesejahteraan bersama, maka perlu bagi kita semua untuk merenungkan kembali makna filosofis yang terkandung di dalamnya, sekaligus keteladanan dari sosok yang mengatakannya.

Semangat dan kekuatan yang terkandung dalam semboyan tersebut tidaklah keluar begitu saja, namun dia diformulasikan dari semangat juang yang dilandasi oleh nilai-nilai luhur ajaran agama dan lahir dari lisan seorang pemimpin yang bergelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mu’minin, pengemban tugas sebagai Panglima Tertinggi dalam pertahanan kedaulatan wilayah, sebagai pemimpin negara dan sebagai pemimpin tertinggi agama. Seorang tokoh yang tidak ambisius terhadap jabatan dan pangkat dalam kerajaan, tidak menonjolkan diri sebagai seorang bangsawan, tidak menonjolkan kemampuannya sebagai seorang pemimpin, tetapi pada saat diperlukan secara spontan ia muncul sebagai pemimpin yang diharapkan. Seorang pemimpin yang hidup sederhana, sehingga dengan kesederhanaannya itulah ia dikagumi oleh semua orang, dicintai oleh rakyat dan dituruti kata-katanya, sehingga seluruh lapisan masyarakat, bahkan kelompok etnis di pedalaman mengakuinya sebagai pemimpin (A. Gazali Usman, 1995). Dialah Pangeran Antasari bin Pangeran Masohut bin Pangeran Amir, lokomotif dan icon terjadinya perang Banjar.

Perang Banjar

Saban tahun, setiap tanggal 11 Oktober diperingati sebagai hari wafatnya (haul) salah seorang seorang pahlawan dan pejuang banua yang selalu dikenang namanya, lokomotif dan icon pecahnya De Bandjermasinsche Krijg atau Perang Banjar (1859-1905), Gusti Inu Kartapati alias Pangeran Antasari bin Pangeran Masohud bin Pangeran Amir, yang kepalanya dihargai oleh Belanda sebesar 10.000 Golden.[1]

Tulisan ini hadir sebagai bagian dari haul tersebut, sekaligus sumbangsih kecil terhadap sosok dan sejarah perjuangan P. Antasari untuk generasi sekarang. Karena, salah satu hikmah dari sebuah peringatan seseorang yang dianggap sebagai tokoh penting dan public pigur sejarah perjuangan masyarakat Banjar adalah bagaimana generasi dan masyarakat yang hidup pada masa sekarang bisa meneladani perilaku, moralitas, atau semangat perjuangan yang telah diwariskan. Bahkan mengikuti jejak langkah mereka dengan menorehkan catatan emas yang juga bisa ditiru oleh generasi berikutnya sesudah mereka tiada.

De Bandjermasinsche Krijg atau Perang Banjar menurut Karel A Steenbrink dalam bukunya “Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19” (1984: 46) terjadi pada tahun 1857-1905. Perang Banjar kata Steenbrink merupakan awal perlawanan rakyat Banjar terhadap Belanda. Latar belakang pecahnya Perang Banjar itu sendiri dimulai oleh perselisihan intern penguasa kerajaan Banjar, seperti yang terjadi pada tahun 1785 mengenai pergantian Sultan Muhammad. Namun berkat bantuan Belanda yang mendapat konpensasi sebagian wilayah Kerajaan Banjar, Pangeran Nata atau Sultan Tahmidullah II (1785-1808) berhasil naik tahta dan menyingkirkan P. Amir bin P. Muhammad Aliuddin ─kakek P. Antasari yang dibuang ke Ceylon (Srilangka) pada tahun 1787─ sebagai orang yang lebih berhak atas tahta. Perselisihan dan perebutan kekuasaan ini mencapai puncaknya pada zaman Sultan Adam al-Watsiq Billah (1825-1857). Lagi-lagi Belanda ikut campur dan membantu Sultan Tamjidullah II (18570-1860) untuk naik tahta, padahal seharusnya yang berhak menggantikan Sultan Abdurrahman[2] bin Sultan Adam adalah P. Hidayatullah.

Pada akhirnya kondisi ini menyebabkan ketidakpuasan berbagai kalangan, baik terhadap Sultan Tamjidullah II yang pro Belanda, maupun Belanda sendiri yang terlalu ikut campur, sehingga akhirnya berbagai elemen masyarakat bangkit dan berjuang untuk memerangi kezaliman. Setidak-tidaknya menurut Steenbrink (1989) berikutnya ada empat unsur masyarakat yang melakukan perlawanan terhadap Tamjidullah II dan Belanda, yakni P. Hidayatullah yang berhak mewarisi tahta Kerajaan Banjar dan mendapat dukungan yang kuat dari rakyat. P. Antasari yang prihatin terhadap nasib dan penderitaan rakyatnya akibat kesewenang-wenangan, campurtangan, dan kebudayaan-kebudayaan Belanda yang bertentangan dengan ajaran agama Islam dan nilai-nilai budaya Banjar, orang-orang daerah yang tidak memperoleh keadilan di bawah pemerintahan Sultan Tamjidillah II, serta beberapa kelompok haji dan pedagang yang merasa dirugikan karena pengaruh, kekuasaan, dan monopoli Belanda yang semakin lama semakin luas.

Menurut sejarawan Banjar, A. Gazali Usman dalam tulisannya “Sejarah Perjuangan Pahlawan Nasional P. Antasari” (1995: 4), Perang Banjar dimulai pada tahun 1859 dipimpin P. Antasari. Kemunculan sosok P. Antasari sebagai pemimpin perjuangan menurut Gazali Usman, karena didorong oleh rasa tanggungjawabnya terhadap rakyat dan untuk menyelamatkan kedaulatan wilayah dari campur tangan penjajah Belanda, yang telah menodai tradisi, merusak norma-norma agama dan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat. Karena itu meletusnya Perang Banjar bukanlah perang feodalis, tetapi perang yang membela kepentingan rakyat dan melepaskan mereka dari sikap kesewenang-wenangan Belanda yang ingin menguasai mereka, perang yang membela keutuhan bernegara dan berbangsa, serta perang dalam rangka membela agama dari para penjajah yang telah menginjak-injak dan melecehkannya. P. Antasari berjuang bukan untuk membela pangkat, karena ia tidak berpangkat, bukan membela harta, karena ia bangsawan yang sederhana, dan bukan pula untuk menuntut hak kerajaannya, karena ia tidak berambisi untuk merebutnya. Namun ia berjuang karena prinsip, keyakinan dan ajaran agama Islam yang dipegangnya. Karena itulah wajar jika dalam kondisi yang demikian lahir semangat juang haram manyarah waja sampai ka puting, dalas hangit bapangsar dada kada manyarah lawan walanda. Komitmen, kredibilitas, dan kebrilianan gagasan serta strategi dalam melakukan perjuangan merupakan modal dasar dan kekuatan yang dimiliki P. Antasari. Sehingga, tanpa ketiga unsur tersebut mustahil seorang pemimpin dapat diterima secara luas oleh berbagai golongan dan masyarakatnya.

Menurut Yusliani Noor dalam tulisannya “Sejarah Perjuangan Umat Islam Kalimantan Selatan” (2001), Perang Banjar meletus ketika Benteng Oranje Nassau (Pengaron) diserang oleh pasukan P. Antasari pada tahun 1856. Pemicu perang ini karena Belanda telah dianggap mencampuri terlalu jauh urusan intern Kesultanan Banjar, yakni mengenai pergantian Sultan Banjar pasca wafatnya Sultan Adam. Belanda lebih memilih P. Tamjid bin P. Muda Abdurrahman dari istri selir keturunan Cina sebagai pengganti Sultan Adam, sedangkan wasiat Sultan Adam sendiri yang semestinya menggantikannya adalah P. Hidayatullah sebagai Putra Mahkota dan keturunan sah P. Abdurrahman dengan istrinya Ratu Siti. Namun Belanda tidak mau tahu dan tetap melantik P. Tamjid sebagai sultan boneka serta memindahkan pusat kerajaan Banjar ke daerah Sungai Mesa Banjarmasin sampai akhirnya kemudian secara sepihak membubarkan Kerajaan Islam Banjar pada tanggal 11 Juni 1860.

Menurut penulis, “Perang Banjar” sendiri sebenarnya hanyalah sebutan untuk peperangan yang dilakukan oleh orang-orang Banjar serta Ngaju, Maanyan, Siang, Sihong, Murung, Bakumpai dan beberapa suku lainya yang berdiam di kawasan dan pedalaman atau sepanjang Sungai Barito untuk mempertahankan kemerdekaan hidup, agama, nilai, budaya, kekayaan, alam dan bumi Kalimantan dari serbuan dan pengambilan paksa (penjajahan) oleh kekuatan asing (yakni Belanda). Sebab, kawasan Banjar pada waktu dulu tidak hanya mencakup seluruh daerah Propinsi Kalimantan Selatan sekarang, akan tetapi juga mencakup daerah; Pamukan, Pasir, Kutai, Berau, Karasikan (Kalimantan Timur), Sabangau, Mandawai, Sampit, Kuala Pambuang, Kota Waringin, Muara Teweh, Puruk Cahu, Kapuas (Kalimantan Tengah), Sukadana, Lawai, dan Sambas (Kalimantan Barat). Itulah sebabnya, seiring dengan diserangnya benteng tambang batu bara Orangje Nesseu di Pengaron oleh rakyat Banjar di bawah pimpinan P. Antasari dibantu Pembekal Ali Akbar, Mantri Taming Yuda, Panakawan Sultan Kuning pada tanggal 28 April 1859 dan kemarahan rakyat atas dihapuskannya Kerajaan Banjar oleh Belanda pada tahun 1860 menjadi penanda pecahnya Perang Banjar. Sejak tahun ini dimulailah penguasaan Belanda terhadap Tanah Banjar dan sejak tahun ini pula dimulai perang untuk merebut kembali hak kedaulatan atas Tanah Banjar.

Penyerangan terhadap Benteng Oranje Nassau merupakan rentetan, titik kulminasi, dan kesatuan gerak, kesamaan maksud, serta kesamaan tujuan dari berbagai gerakan perlawanan rakyat Banjar yang telah dilakukan sebelumnya. Seperti gerakan rakyat di Banua Lima yang dipimpin oleh Tumenggung Jalil, gerakan rakyat di Muning (Rantau) dipimpin oleh Datu Aling, gerakan rakyat daerah Batang Hamandit (Gunung Madang) yang dipimpin oleh Tumenggung Antaluddin (Kandangan), gerakan rakyat daerah Tanah Laut dan Riam dipimpin Demang Lehman (bergelar Kiai Adipati Mangku Negara) dan H. Buyasin (H. Muhammad Yasin), gerakan rakyat daerah Barito, Kapuas, dan Kahayan dipimpin oleh Tumenggung Surapati (bergelar Kiai Temenggung Pati Jaya Raja), dan lain-lain. Karena, keikutcampuran dan keinginan Belanda untuk menguasai Tanah Banjar yang kaya dengan hasil bumi dan tambang bumi dengan monopoli dan kolonisasinya, namun tidak berhasil. Belanda baru berhasil menguasai Tanah Banjar setelah dihapuskannya Kerajaan Banjar secara resmi pada Juni 1860. Konsekuensi penghapusan dan sifat penjajahan Belanda adalah tumbuhnya perlawanan dan perjuangan masyarakat Banjar yang tersebar luas diberbagai daerah untuk merebut dan mempertahankan kedaulatan mereka.

Tahun 1860 boleh dikata sebagai awal era penguasaan (penjajahan) Belanda atas Tanah Banjar. Namun, walau demikian pasukan pejuang yang dipimpin oleh P. Antasari tetap berjuang dan mengobarkan semangat perlawanan terhadap Belanda. Berbagai golongan dan suku yang mendiami Tanah Banjar, urang Banjar, urang Bakumpai, Biaju, Ngaju, Maanyan, Murung, Siang, Sihong, Kutai, Pasir, urang Pamukan, dan semuanya bahu-membahu, bergerilya, untuk mengusir Belanda.

Itulah sebabnya, bagi sebagian besar orang Banjar dan orang Dayak yang mendiami daerah di sepanjang sungai Barito, Sungai Kapuas, Sungai Kahayan dan sekitarnya, nama P. Antasari tidak asing lagi. Kenangan terhadap perjuangan, kepahlawanan, dan kecintaan kepada rakyat yang dipimpinannya telah menjadikan sosok P. Antasari selalu hidup dalam ingatan.

P. Antasari

Menurut penduduk Tanah Dusun di Desa Bayan Begok Sampirang Puruk Cahu (tempat P. Antasari wafat), P. Antasari dilahirkan di Kayu Tangi Martapura tahun 1787 dan wafat pada tanggal 11 Oktober 1862 dalam usia 75 tahun (Artum Artha, 1995: 1). Sedangkan menurut Syamsiar Seman (2003: 1), P. Antasari dilahirkan pada tahun 1800. Ayahnya bernama P. Masohud bin P. Amir dan ibunya bernama Gusti Khadijah binti Sultan Sulaeman. Tidak banyak catatan yang mengungkap secara detil sejarah hidup P. Antasari sewaktu kecil dan berdiam di Martapura. Namun yang jelas, dia dikenal sebagai seorang Bangsawan Banjar yang hidup secara sederhana dan memiliki kepedulian yang tinggi terhadap kondisi daerahnya. Sebagai bangsawan, P. Antasari hanya memiliki tanah lungguh (apanage) di daerah Mangkauk sampai daerah wilayah dekat Rantau yang berpenghasilan hanya sekitar 400 Golden pertahun. Penghasilan ini tidak mencukupi kebutuhan hidup keluarganya sebagai bangsawan pada masa itu yang berdiam di Kampung Antasan Senor Martapura.

Ketidaksukaan P. Antasari terhadap Belanda yang telah menjajah Banua Banjar membuat Antasari mengangkat senjata dan membangkitkan semangat perlawanan rakyat Banjar terhadap Belanda. Perjuangan tersebut ia wujudkan dengan menghimpun segala kekuatan yang dimiliki dan menyatukan kekuatan rakyat Banjar yang terpisah dibeberapa daerah, baik yang ada di Martapura, Marabahan, Barito, maupun yang ada di Rantau, Tanah Laut, dan di daerah Hulu Sungai.

Salah satu semboyan P. Antasari yang sangat terkenal dan menjadi motto daerah adalah haram manyarah waja sampai kaputing. Semangat dan kekuatan yang terkandung dalam semboyan tersebut tidaklah keluar begitu saja, namun dia diformulasikan dari semangat juang yang dilandasi oleh nilai-nilai luhur ajaran agama dan lahir dari lisan seorang pemimpin yang bergelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mu’minin, pengemban tugas sebagai Panglima Tertinggi dalam pertahanan kedaulatan wilayah, sebagai pemimpin negara dan sebagai pemimpin tertinggi agama. Seorang tokoh yang tidak ambisius terhadap jabatan dan pangkat dalam kerajaan, tidak menonjolkan diri sebagai seorang bangsawan, tidak menonjolkan kemampuannya sebagai seorang pemimpin, tetapi pada saat diperlukan secara spontan ia muncul sebagai pemimpin yang diharapkan. Seorang pemimpin yang hidup sederhana, sehingga dengan kesederhanaannya itulah ia dikagumi oleh semua orang, dicintai oleh rakyat dan dituruti kata-katanya, sehingga seluruh lapisan masyarakat, bahkan kelompok etnis di pedalaman mengakuinya sebagai pemimpin. Menurut A. Gazali Usman (1995) haram manyarah wajah sampai ka puting inilah sebenarnya yang (mesti) menjadi prinsip dan etos kerja orang Banjar .

P. Antasari juga dikenal sebagai bangsawan yang merakyat, seorang ahli siasat dan strategi, memiliki kecerdasan otak yang tinggi serta keberanian yang mengagumkan (Tim Editor, 2003: 182). Menurut Heliau Sjamsuddin (2002: 9), P. Antasari dan P. Hidayatullahullah adalah dua orang Muslim yang saleh. Mereka mempresentasikan tradisi kebangsawanan dan pedalaman yang merupakan akibat dari perubahan sosio-politik yang dipaksakan Belanda.

Ketokohan P. Antasari

P. Antasari sebagai tutus Kerajaan Banjar (Helius Sjamsuddin, 2002: 1) telah diangkat dan dikukuhkan oleh rakyat sebagai sebagai Kepala Agama Tertinggi dan diberi gelar Panambahan Amir Oedin Chalifatoel Mu’minin pada tanggal 13 Ramadhan 1278 H/14 Maret 1862, oleh sekalian tokoh pejuang Kalimantan (Kiai Dipati Djaja Radja, Raden Mas Warga Nata Widjaja, Temenggung Mangku Sari, Kepala di seluruh Teweh, Kapuas dan Kahajan, sekalian para haji, alim ulama dan pembesar Banjarmasin serta Martapura), sebagaimana ditulis Amir Hasan Bondan, dalam bukunya Suluh Sedjarah Kalimantan (1953: 59).

P. Antasari berhasil menjadi seorang tokoh yang selalu hidup, dikenang, dan dijunjung oleh masyarakatnya, ia menempatkan diri sebagai seorang pemimpin pejuang yang mendapatkan gelar tertinggi. Mengapa ia diberi kedudukan terhormat oleh masyarakatnya? Sehingga sampai sekarang kepribadian, perjuangan, semangat, dan petuahnya tetap diingat dan dikenang orang. Setidaknya ada tiga alasan mendasar mengapa P. Antasari dicintai dan diterima secara luas oleh rakyatnya.

Pertama, walaupun ia seorang bangsawan dan memiliki hak terhadap tahta kerajaan Banjar namun dalam kehidupannya sehari-hari ia dikenal seperti layaknya masyarakat biasa. Ia dikenal sebagai seorang yang jujur dan sederhana, rendah hati, tidak ambisi, dan dekat dengan kehidupan masyarakat, sehingga ia disenangi dan disukai oleh masyarakat. Perasaan dan penderitaan rakyat yang dialami dan dilihatnya sendiri, komitmen yang kuat terhadap kehidupan rakyat dan dorongan untuk menyelamatkan negara dari campurtangan dan kekuasaan Belanda yang semakin menjadi-jadi pada akhirnya mendorong P. Antasari untuk mengangkat senjata, melakukan perlawanan dan berjuang untuk membela dan mengembalikan hak hidup rakyat yang aman, damai, dan sejahtera di negeri kelahiran mereka. Itulah sebabnya asumsi yang menyatakan bahwa Perang Banjar sebagai perang feodal untuk membela kaum bangsawan tidak bisa dibenarkan. Sebab Perang Banjar sesungguhnya adalah perang yang dikobarkan untuk membela agama dari kehancuran karena pengaruh budaya Barat yang merusak, perang membela rakyat dari belenggu penjajahan, dan perang untuk membela keutuhan bernegara dan berbangsa.

Kedua, sebagai seorang Muslim yang taat dan dekat dengan golongan ulama, tuan-tuan guru, kepribadian dan jiwa P. Antasari banyak mendapatkan pengaruh dan tempaan dari nilai-nilai dasar agama yang diyakininya. Sehingga bermuara dari ketaatan dalam menjalankan ajaran agama inilah lahir semangat dan kekuataan yang luar biasa untuk berperang dan berjuang di bawah landasan agama, sehingga haram manyarah hukumnya menyerahkan segala perwalian, sistem pemerintahan, dan kedaulatan hidup kepada pemerintah Belanda yang tidak seakidah, walaupun harta, darah, dan nyawa taruhannya, waja sampai kaputing. Niscaya tidak akan berhenti tangan memegang senjata, kaki berlari, lisan memberi komando, teriakan Allahu Akbar menggema, kecuali waja sampai ka puting atau nyawa kembali kepada-Nya. Landasan moral agama begitu membaja dalam jiwa, sehingga tujuan tertinggi dari suatu perjuangan yang hendak diraihnya adalah ridha-Nya.

Karena itu wajar jika Karel Steenbrink (1989) menyatakan bahwa moral agama memiliki peran yang penting untuk mendorong semangat perlawanan masyarakat Banjar terhadap Belanda, sebagaimana yang terlihat pada: (1) gelar yang diberikan kepada P. Antasari, yakni Panembahan Amiruddin Khalifatul Mu’minin yang bercorak keagamaan dan mengandung arti sebagai pembela agama; (2) pemberontakan pertama terhadap Sultan Tamjidillah II yang terjadi daerah Amuntai di pusatkan di masjid Batang Balangan; (3) perjuangan Datu Aling di daerah Muning Rantau (Maret 1859) menggunakan pendekatan keagamaan untuk menarik dan memotivasi semangat juang rakyat, dan menjadikan masjid pula sebagai sentral perjuangan mereka; (4) perjuangan oleh rakyat daerah Amuntai dan sekitarnya bulan Oktober 1861 dipimpin oleh Penghulu Abdul Rasyid[3] juga dimotivasi oleh semangat keagamaan, bahkan dikenal sebagai peristiwa Baratib Beamal.[4] Ataupula pecahnya peristiwa Amuk Hantarukung tahun 1899 di Kandangan yang dipelopori dua bersaudara Bukhari dan Santar murid Gusti Mat Seman yang rajin mengamalkan zikir dan wirid, serta meneriakan pekik Allahu Akbar dalam perjuangan mereka; (5) tampilnya kalangan ulama di garda depan perjuangan seperti Penghulu Abdul Rasyid, Buhasin, Abdul Gani, Penghulu (Banua Lima), Haji Buyasin (Pelaihari), Gusti Mat Seman (Barito), dan lain-lain yang memberikan semangat, komando, dan nilai-nilai perjuangan Islam.

Ketiga, P. Antasari adalah sosok seorang pemimpin yang mengedepankan dan memperjuangan hak, kedaulatan dan kepentingan rakyat, bukan kepentingan individu atau golongan, sehingga ia dapat diterima dan dipercaya oleh masyarakat luas secara terbuka. Ia adalah seorang tokoh yang tidak ambisius terhadap jabatan dan pangkat dalam kerajaan, tidak menonjolkan diri sebagai seorang bangsawan, tidak menonjolkan kemampuannya sebagai seorang pemimpin, tetapi pada saat diperlukan secara spontan ia muncul sebagai pemimpin yang diharapkan. Seorang pemimpin yang hidup dengan sederhana, sehingga dengan kesederhanaannya itulah ia dikagumi oleh semua orang, dicintai oleh rakyat, dan dituruti kata-katanya, sehingga seluruh lapisan masyarakat, bahkan kelompok etnis di pedalaman mengakuinya sebagai pemimpin (Gazali Usman, 1995).

Ada banyak hal dari nilai kepahlawanan dan sosok pribadi P. Antasari yang patut diteladani. Setidaknya-tidaknya hal terpenting yang telah diwariskan oleh P. Antasari adalah “ruh kebanjaran”, yang menjadi dasar gerak bagi siapa saja yang telah diberi amanah untuk memimpin banua ini. Ruh kebanjaran dimaksud mesti terwujud pada dua hal mendasar, yakni moralitas agama dan keberanian.

Moralitas Agama, maksudnya seorang pemimpin Banjar adalah seorang yang paham akan agamanya, sehingga dalam melaksanakan kedudukannya ia senantiasa dimotivasi oleh semangat keagamaannya tersebut. Ajaran agama dijadikannya sebagai nilai dasar moralitas perjuangannya dalam memimpin rakyat. Haram baginya untuk melanggar amanah yang diajarkan oleh agamanya. Ajaran agama menjadi penunjuk utama dalam ia bersikap, berbuat, dan bertindak, sehingga apapun yang dilakukannnya selalu disandarkan pada moralitas ajaran agama. Inilah sebab mengapa P. Antasari memformulasikan semboyan haram manyarah waja sampai kaputing dan teguh memegang prinsipnya ini, sebagaimana isi surat yang dikirimkannya dan menolak tawaran dari Letnan Kolonel Verspyck di Banjarmasin tertanggal 20 Juli 1861, agar ia mengakui kekuasaan dan menyerah kepada Belanda.

“……Dengan tegas kami terangkan kepada tuan: Kami tidak setuju terhadap usul minta ampun dan kami berjuang terus menuntut hak pusaka (kemerdekaan)…….(Amir Hasan Bondan, 1953: 58).

Keberanian, maksudnya seorang pemimpin adalah seorang yang berani untuk membela kehormatan, hak, dan segala milik rakyat Banjar, bukan seseorang yang harus tunduk oleh iming-iming harta, kekuasaan, jabatan, atau intimidasi dari orang lain. Bagi seorang pemimpin Banjar, jabatan adalah taruhan atas keberaniannya membela kepentingan rakyat Banjar. Ia bahkan rela meninggalkan kedudukannya manakala ia gagal membela kepentingan rakyatnya. Sikap inilah yang dulu diperlihatkan oleh seorang P. Antasari. Ia rela meninggalkan rumah kediaman, hidup sakit dan melarat, bersatu dan berjuang di tengah-tengah rakyatnya, sampai akhirnya ia pun meninggal di tengah-tengah rakyatnya. Dengan gagah berani P. Antasari telah mencetuskan berkobarnya “Perang Banjar”, dan secara bergerilya berjuang bersama rakyat serta terus mengobarkan keberanian dan perjuangan melawan Belanda.

P. Antasari telah dianugerahi gelar sebagai Pahlawan Nasional dan Kemerdekaan oleh pemerintah Republik Indonesia berdasarkan SK No. 06/TK/1968 di Jakarta, tertanggal 23 Maret 1968. Kemudian untuk lebih mengenalkan P. Antasari kepada masyarakat nasional dan guna merespon keinginan masyarakat Banjar, Pemerintah melalui Bank Indonesia (BI) telah mencetak dan mengabadikan nama dan gambar P. Antasari dalam uang kertas nominal Rp 2.000.[5] Tanpa penghargaan itupun, sebenarnya P. Antasari akan tetap hidup dan dikenang sebagai pahlawan dengan enam alasan mendasar berikut:

Pertama, P. Antasari adalah tokoh besar dalam sejarah masyarakat Banjar, disebut demikian karena ia memiliki opini atau pendapat yang bisa abadi sepanjang catatan sejarah, bahkan opini tersebut telah menjadi pedoman, simbol, dan slogan dalam kehidupan masyarakat yang hidup sesudahnya, misalnya haram manyarah waja sampai kaputing, jangan bacakut papadaan, dan sebagainya. Ia juga memberikan teladan perbuatan yang terpuji, yang sepanjang masa tidak akan terlupakan, di samping mewariskan tradisi, semangat perjuangan yang bermanfaat, dan patut dibanggakan bagi generasi penerus sesudahnya.

Kedua, P. Antasari adalah seorang tokoh yang telah memberikan contoh kepribadian teladan dalam sejarah. Kepribadiannya bukanlah kepribadian sembarang orang, tetapi eksklusif sifatnya. Sebab ia mewariskan prilaku perjuangan yang bersifat heroik, cinta negara, dan sikap patriotisme untuk mengusir penjajah serta kolonialisme dari wilayah tanah air.

Ketiga, P. Antasari memiliki nilai simbolis yang diperlukan oleh masyarakat, ia dipuja karena sifat-sifat unggulnya, sehingga pada akhirnya tidak ia tidak hanya menjadi idola masyarakat, akan tetapi juga sebagai model atau sosok teladan bagi masyarakat dalam membangun dan memperjuangkan kehidupan mereka. Ia telah diangkat oleh masyarakatnya menjadi pemimpin agama mereka (Panembahan Amiruddin Khalifatul Mu’minin). Karena itu wajar jika perguruan tinggi agama Islam pertama dan tertua di bumi Kalimantan, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Antasari mengabadikan namanya.[6]

Keempat, karena ketokohan dan perjuangannya (hero-worshop), P. Antasari mendapatkan gelar dan penghargaan sebagai pahlawan. Dalam bahasa agama, mereka yang berjasa besar dalam membela dan memperjuangkan agama Allah dikenal sebagai mujahid (pejuang) yang syahid, dan dianggap hidup selamanya serta menempati kedudukan yang mulia di sisi Allah Swt.

Kelima, oleh karena jasanya yang tak terhingga, yang tak dapat dinilai dengan ukuran harta, menjadikannya personifikasi keutamaan tingkahlaku dan kepribadian dalam kehidupan masyarakatnya.

Keenam, peranannya sebagai titik sentral dalam sejarah perjuangan masyarakat Banjar, secara langsung ataupun tidak langsung memberikan pengaruh terhadap pembentukan etos moral masyarakat Banjar. Di mana sekalipun ia telah tiada, namun eksistensinya tetap akan dikenang dan berada di tengah-tengah masyarakatnya sepanjang masa, karena keberadaannya memastikan adanya agenda perjuangan yang terus-menerus untuk mewujudkan cita-cita bangsa.

Kepemimpinan, perjuangan, dan kepahlawan P. Antasari diakui secara luas oleh banyak kalangan. Bahkan, dalam buku-buku yang ditulis oleh penulis Belanda, seperti Carl Boock, G.J. Verspejik, P.J. Feth, A. A. Cense, L. Meijer, J. Eissen Berger ataupun W.A. van Rees, P. Antasari dinyatakan sebagai seorang pemimpin yang disegani oleh rakyat. Penegasan ini bisa dilihat dari makalah yang ditulis oleh Artum Artha berjudul “Pangeran Antasari: Gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mu’minin” (1995: 2). Syamsiar Seman juga menegaskan bahwa pengabadian nama P. Antasari pada beberapa sarana dan prasarana, instansi atau lembaga menunjukkan suatu bentuk peringatan dan penghargaan terhadap P. Antasari sebagai seorang pejuang yang gagah berani dalam Perang Banjar (2003: iii).

Setelah berjuang di tengah-tengah rakyat, P. Antasari kemudian wafat di tengah-tengah pasukannya tanpa pernah menyerah, tertangkap, apalagi tertipu oleh bujuk rayu Belanda pada tanggal 11 Oktober 1862 di Tanah Dusun Desa Bayan Begok Sampirang, Puruk Cahu Kabupaten Murung Raya,[7] Propinsi Kalimantan Tengah dalam usia lebih kurang 75 tahun, karena sakit paru-paru[8] yang dideritanya setelah terjadinya pertempuran di bawah kaki Bukit Bagantung Tundakan. Itu sebabnya, tidak terdapat foto[9] asli P. Antasari dalam dokumen sejarah Perang Banjar atau pada dokumen Belanda yang lainnya.

Penutup

Setelah terkubur selama lebih kurang 91 tahun di Tanah Barito, atas keinginan rakyat Banjar dan persetujuan keluarga, dan mereka yang memiliki keterikatan dengan P. Antasari, tulang belulang Pahlawan Nasional P. Antasari pun kemudian diangkat dan makamnya dipindahkan ke Komplek Pemakaman Pahlawan Perang Banjar (Pemakaman Masjid Jami) di Kelurahan Surgi Mufti Banjarmasin pada tahun 1958.

P. Antasari adalah salah satu cermin yang bisa ditiru oleh para pemimpin banua yang ada sekarang ini, apabila mereka ingin mengabadikan nama dan kepribadian mereka dalam ingatan masyarakat dan catatan tinta sejarah. Sebab apalah arti nama seorang pemimpin jika tidak memiliki model kepribadian mulia yang bisa ditiru seperti jujur, sederhana, hemat dan bersahaja, tidak teguh memegang dasar-dasar ajaran agama atau keyakinannya, dan tidak berjuang untuk kepentingan masyarakatnya. Karena pemimpin seperti ini tidak akan dikenang, tidak abadi namanya, dan kemudian terlupakan dimakan peredaran waktu dan masa yang tidak terasa.

P. Antasari merupakan salah satu pigur yang patut ditiru oleh para pemimpin banua yang ada sekarang ini, apabila mereka ingin mengabadikan nama dan kepribadian mereka dalam ingatan masyarakat dan catatan sejarah. P. Antasari telah mewariskan sesuatu yang patut dikenang oleh generasi sekarang; kemuliaan pribadi, akhlak, budi pekerti, sederhana, hemat dan bersahaja, teguh memegang prinsip serta berjuang untuk kepentingan masyarakat. Mampukah kita meneladani dan meneruskannya?

Daftar Rujukan

A. Gazali Usman, (1995), “Sejarah Perjuangan Pahlawan Nasional P. Antasari”, Makalah Seminar, disampaikan dalam Forum Informasi Ilmiah Akademisi IAIN Antasari Banjarmasin Memperingati Wafatnya P. Antasari pada tanggal 11 Oktober 1995.

Amir Hasan Bondan, (1953), Suluh Sedjarah Kalimantan, Banjarmasin: Percetakan Karya.

Artum Artha, (1995), “Pangeran Antasari: Gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mu’minin” Makalah Seminar, disampaikan dalam Forum Informasi Ilmiah Akademisi IAIN Antasari Banjarmasin Memperingati Wafatnya P. Antasari pada tanggal 11 Oktober 1995.

Helius Sjamsuddin, (2002), Islam dan Perlawanan di Kalimantan Selatan dan Tengah pada Abad 19 dan Awal Abad 20, Yogyakarta: Pusat Studi dan Pengembangan Borneo (PSPB).

Karel S. Steenbrink, (1989), Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, Jakarta: Bulan Bintang.
“Penghulu Rasyid”, http://www.tabalong.go.id/kumpulan-cerita-rakyat/

Syamsiar Seman, (2003), Pangeran Antasari dan Meletusnya Perang Banjar, Banjarmasin: Lembaga Studi Sejarah Perjuangan dan Kepahlawanan Kalimantan Selatan.

Yusliani Noor, (2001), “Sejarah Perjuangan Umat Islam Kalimantan Selatan dari Pasca Kesultanan Banjar hingga Zaman Reformasi Indonesia Tahun 1998”, Makalah Seminar, tanggal 10 Oktober 2001, Banjarmasin: Pusat Pengkajian Islam Kalimantan (PPIK) IAIN Antasari.

Zulfa Jamalie, (2003), “Mewarisi Semangat Juang Haram Manyarah Waja Sampai Ka Puting: Renungan di 141 Tahun Wafatnya P. Antasari”, SKH Banjarmasin Post, edisi 11 Oktober 2003.

———, (2004), “P. Antasari: Pejuang yang Haram Manyarah Waja Sampai Ka Puting”, SKH Banjarmasin Post, edisi 11 Oktober 2004.

———, (2003), “Kilas Balik Ketokohan P. Antasari dalam De Bandjermasinche Krijg”, SKH Kalimantan Post, edisi 11 Oktober 2003.

———, (2008), “Semangat Perjuangan P. Antasari dari Masa ke Masa”, SKH Mata Banua, edisi 9, 10, 12 Oktober 2008.

[1]Selain P. Antasari, tokoh Banjar yang kepalanya juga dihargai 10.000 Golden oleh Belanda adalah P. Hidayatullah, yang kemudian oleh Belanda dibuang ke Cianjur (Jawa Barat). Sedangkan Pahlawan Banjar lainnya, seperti Demang Leman yang dihukum pancung oleh Belanda di lapangan Bumi Selamat Martapura dihargai oleh Belanda sebesar 5.000 Golden.

[2]P. Abdurrahman bin Sultan Adam sempat menggantikan ayahnya menjadi Sultan Banjar, namun tidak lama, kira-kira kurang lebih tiga bulan, karena meninggal dunia. Sehingga, sesuai dengan wasiat Sultan Adam, rakyat Banjar harus merajakan P. Hidayatullah bin Sultan Abdurrahman sebagai Sultan Banjar berikutnya.

[3]Berbeda dengan data yang dikemukakan oleh Steenbrink, menurut data sejarah perjuangan masyarakat Banjar (Pemerintah Kabupaten Tabalong), Penghulu Abdul Rasyid bukan berasal dari Amuntai, tetapi merupakan salah seorang Pahlawan Perang Banjar berasal dari Tabalong. Dilahirkan pada tahun 1815 M di Desa Habau Kecamatan Banua Lawas. Ada pula yang menyatakan bahwa beliau dilahirkan di Desa Telaga Itar. Beliau ditunjuk oleh P. Antasari untuk mengepalai dan dan memimpin perjuangan rakyat Banjar sektor Tabalong dan sekitarnya. Adapun Markas Pertahanan dan tempat latihan prajurit dan pasukan Penghulu Abdul Rasyid dalam bergerilya melawan Belanda dipusatkan di Desa Habau. Dalam perjuangannya melawan Belanda (1859 – 1865), Penghulu Abdul Rasyid didampingi oleh tiga pembantu utamanya, yakni Habib Rahban, Datu Ahmad, dan Untuk. Penghulu Abdul Rasyid wafat dalam usia lebih kurang 50 tahun akibat luka tembak yang beliau alami setelah Belanda melakukan serangan terhadap pasukannya ketika mereka berada di Masjid Pusaka Banua Lawas. Beliau kemudian dikuburkan di samping Masjid Pusaka Banua Lawas pada sore Jumat tahun 1865. Menurut cerita, ketika terluka dan melarikan diri tempat persembunyian Penghulu Abdul Rasyid kemudian diketahui oleh Busan (asal Sungai Rukam Kecamatan Kelua), sehingga setelah meninggal dalam keadaan shalat, leher Penghulu Abdul Rasyid kemudian ditebas oleh Busan yang tergiur oleh hadiah 1.000 Golden dan bebas pajak 7 turunan yang dijanjikan Belanda atas kepala Penghulu Abdul Rasyid. Lihat: http://www.tabalong.go.id/kumpulan-cerita-rakyat/

[4]Dinamakan peristiwa baratib beamal atau baratib bailmu, karena dalam perjuangannya, Penghulu Abdul Rasyid dan pengikutnya melazimkan untuk membaca wirid dan zikir untuk mendapatkan kekuatan dalam perjuangan melawan Belanda. Lebih jauh berkenaan dengan peristiwa baratif baamal di Banua Lima ini dilihat dalam penelitian berjudul “Politik Kaum Sufi dalam Menjalankan Beratif Baamal di Banjarmasin”, oleh Sulaiman Kurdi (2007).

[5]Terhitung sejak tanggal 9 Juli 2009 yang lalu, oleh Pejabat sementara (Pjs.) Gubernur Bank Indonesia, Miranda S. Goeltom, didampingi Deputi Gubernur Bank Indonesia bidang pengedaran uang, S. Budi Rochadi, Pemimpin Cabang BI Banjarmasin, Bramudija Hadinoto, Gubernur Kalimantan Selatan H. Rudy Ariffin dan Gubernur Kalimantan Tengah Agustin Teras Narang, di Banjarmasin secara resmi telah diluncurkan uang kertas bergambar P. Antasari tahun emisi 2009 dengan nilai nominal Rp 2.000 sebagai alat pembayaran yang sah di seluruh Indonesia (Banjarmasin Post, edisi Kamis, 9 Juli 2009; lihat juga Banjarmasin Post edisi, Kamis, 11 Juni 2009). Tentu saja, sebagai orang daerah ─yang turut mengusulkan melalui beberapa tulisan di tahun-tahun sebelumnya─ kita merasa bersyukur dan bangga akan hal itu, karena setelah sekian lama menunggu akhirnya pemerintah pun merespon keinginan masyarakat Kalimantan (Banjar) untuk mengabadikan nama dan gambar P. Antasari dalam uang kertas. Sebab, melalui media uang, semangat dan perjuangan P. Antasari akan lebih tersosialisasikan lagi, terlebih-lebih bagi generasi muda sekarang.

[6]Selain itu, nama P. Antasari juga dipakai sebagai nama jalan dan institusi-institusi lainnya; Korem 101 Antasari, Wisma Antasari, dan lain-lain.

[7]Tanah Dusun Desa Bayak Begok Sampirang, semula merupakan sebuah daerah yang masuk dalam wilayah Kabupaten Barito Utara (Muara Teweh), namun setelah mengalami pemekaran dan dibagi menjadi dua kabupaten, maka Desa Bayak Begok Sampirang sekarang ini masuk dalam wilayah Kabupaten Murung Raya (Mura).

[8]Ada pula yang menyatakan bahwa P. Antasari wafat dikarenakan oleh sakit cacar yang sedang mewabah ketika itu.

[9]Adapun foto-foto P. Antasari yang ada sekarang adalah rekaan yang dibuat berdasarkan penuturan dari orang-orang yang memiliki informasi atau hubungan dekat dengan P. Antasari, sehingga ada foto P. Antasari versi Pemerintah Propinsi Kalimantan Selatan dan ada pula versi para penulis buku sejarah, misalnya foto P. Antasari dalam buku tulisan H. Hamlan Arpan berjudul “Pangeran Antasari” dan dalam buku tulisan H. Syamsiar Seman berjudul “Pangeran Antasari dan Meletusnya Perang Banjar”. GO Link RUMAH BANJAR

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berikan komentarnya agar persaudaraan tetap terjalin. Terimakasih.