4.03.2011

Batu Bara Minus Mafia

SAYA anak batu bara. Pulau laut, Kalimantan Selatan, adalah adalah daerah asal, tempat saya dilahirkan, 38 tahun yang lalu. Masih lekat dalam ingatan, kaki saya yang telanjang menjadi hitam setiap pulang bermain, karena menginjak tanah batu bara.

Meski legam karena batu bara, saya bahagia. Kebahagiaan anak yang berasyik-masyuk dengan semesta. Kesenangan seorang anak yang bersentuhan dengan batu bara dengan tulus-cinta, tanpa terlintas pikiran mengeksploitasinya hanya demi menumpuk harta semata.

Saya ragu tulus dan cinta pada batu bara itu masih ada. Saya khawatir relasi yang tulus telah berubah menjadi rakus. Padahal hanya hubungan yang bersandar pada ketulusan dengan alam yang akan menghadirkan berkah, relasi yang berpijak pada kerakusan akan melahirkan musibah.

Berkali-kali saya datang ke Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, eksploitasi batu bara berkembang sangat hebat, terlalu pesat sehingga menghadirkan kekhawatiran. Memunculkan mafia batu bara ke mana mata hati memandang.

Ya, hanya mata hati yang bisa melihat mafia batu bara. Karena mata kepala tak bisa jernih menatapnya. Mata kepala tanpa mata hati hanya akan melihat batu bara sebagai sumber harta, jalan menuju kaya-raya, padahal ada dimensi bencana jika batu bara salah dikelola.

Sudah terlalu banyak contoh nyata, bahwa kekayaan alam yang dikelola tanpa amanah akan membawa kutukan, bersatunya diri dengan musibah. Tidak sedikit kepala daerah di wilayah kaya minyak, berlimpah batu bara menjadi pesakitan di penjara. Kalimantan Timur, misalnya, daerah dengan kekayaan alam tak terkira, dari gubernur ke gubernur, dari bupati ke bupati silih berganti antri menjadi tersangka, terdakwa bahkan terpidana. Saya bermimpi, Kalimantan Selatan tak akan demikian adanya.

Relasi mafia dengan batu bara, jauh dari hubungan cinta, tetapi sarat dengan kuasa yang salah kelola. Pastinya, tak semua calon kepala daerah dan pengusaha batu bara adalah anggota mafia. Tetapi menyatakan mafia sama sekali tak ada, juga jauh dari fakta-nyata.

Ada saja calon pemimpin, yang ingin menang pilkada, membangun relasi kolusi dengan pengusaha yang ingin mengeruk batu bara. Izin usaha tambang yang awalnya tak dikeluarkan tiba-tiba akan membanjir disetujui menjelang pilkada. Terutama jika calon kepala daerah adalah incumbent yang ingin kembali berkuasa.

Relasi oknum penguasa dan pengusaha demikian harus jeli dilihat oleh kita, rakyat yang menjadi penentu siapa pemenang pilkada. Seharusnya, raja alim disembah, raja lalim disanggah. Pengusaha tulus disayang, pengusaha rakus ditendang.

Sayangnya, tak sedikit pula kita tergoda dengan iklan semata. Rakyat memilih berdasarkan jumlah lembaran uang di tangan menjelang menuju kotak suara. Cara demikian membuat mafia menjadi menang, makin berkuasa, makin merajalela.

Mafia makin parah ketika hukum ikut menghamba, menjadi hamba-sahaya mafia. Tentu tidak semua aparat hukum takluk kepada kuasa mafia. Masih ada saja polisi, hakim, jaksa dan advokat yang bersahaja. Kepada mereka kita harus berikan apresiasi yang luar biasa. Namun, ada pula aparat hukum yang tak tahan menahan godaan, melihat dolar dalam tas kresek besar, iman langsung menghilang.

Setiap ton batu bara pun ada tarif dan harga palaknya, yang harus dibayar dimuka. Maka terjalinlah relasi gangster batu bara di antara penguasa, pengusaha dan penegak hukum yang menjadi pembeking mafia.

Penguasa-Pengusaha-Penegak hukum pembeking mafia adalah trisula nafsu yang nyata merusak semesta. Lingkungan hancur. Jalanan rusak. Kerukunan dan kenyamanan hidup hilang. Tentu bukan berarti batu bara tidak boleh dimanfaatkan. Dengan tata kelola batu bara yang amanah, sang emas hitam sangat layak didayagunakan.

Contohnya, PLN kita sangat membutuhkan batu bara. Relasi saling menguntungkan tidak sulit diupayakan. Batu bara ditambang, penguasa daerah mendapatkan pajaknya, pengusaha memperoleh untungnya, PLN mendapatkan listriknya, rakyat pun makin sejahtera.

Namun, relasi batu bara yang sehat demikian agaknya makin jauh dari kenyataan. Batu bara sekarang makin menjadi sumber penyakit. Di kantor saya di Jakarta, silih berganti datang masyarakat yang mengeluhkan makin mejalalelanya mafia batu bara.

Demikian pula setiap saya turun ke Kalsel dan Kaltim, elemen masyarakat makin fasih bertutur persoalan batu bara yang semakin rumit dan kompleks, akibat mafia di mana-mana.

Langkah cepat harus segera dilakukan. Waktu tak pernah berhenti berjalan. Terkadang terasa berlari. Batu bara tak akan ada selamanya. Batu bara suatu saat akan habis dan tak tersisa lagi untuk ditambang.

Di kala itu, bukan penyesalan yang harus menjadi ujung cerita. Langkah pencegahan dan penindakan tegas harus dijalankan. Pencegahan adalah dengan menerapkan tata kelola batu bara yang akuntabel dan jauh dari mafia. Bisnis batu bara masih akan sangat menguntungkan tanpa harus merusak kenyamanan kehidupan.

Penindakan juga harus ditegakkan kepada mafia yang masih saja nakal melawan uluran persahabatan dari alam. Mafia batu bara sangat bisa dijerat dengan pidana umum, pidana korupsi, pidana pencucian uang, pidana lingkungan dan pidana pajak.

Maka sangat wajar jika polisi, penyidik pajak dan KPK turun gelanggang untuk menangkap gangster yang telah menjual batu bara dengan cara-cara yang merusak dan koruptif.

Pidana umum sudah kasat mata terlihat. Pemalsuan dokumen, penipuan, bahkan pembunuhan sudah terjadi akibat pertarungan memperebutkan batu bara. Pidana korupsi jelas terjadi dengan suap dollar yang bertas-tas berpindah tangan di antara penguasa, pengusaha, aparat penegak hukum yang menjadi pembeking mafia.

Pidana pencucian uang tak mungkin bisa disembunyikan, kekayaan hasil kongkalikong usaha batu bara bisa saja di simpan dalam banyak aset di dalam dan luar negeri, semuanya tetap merupakan hasil kejahatan yang tak bisa sim salabim menjadi halal.

Pidana lingkungan tak sulit dibuktikan, tinggal naik helikopter, berkeliling dari ketinggian akan mudah didapatkan danau-danau hasil galian batu bara yang beracun dan tak kunjung direklamasi. Pidana pajak akan mudah ditemukan, hanya dengan memeriksa pembukuan perusahaan.

Semua kejahatan itu kasat mata, asal dilihat dengan mata hati, tak hanya mata kepala. UUD 1945 dengan tegas mengatakan, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”  Apakah batu bara telah dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat? Mudah menawabnya: tidak. Amanah konstitusi masih jauh dari kenyataan.

Amanat UUD 1945 itu mensyaratkan relasi cinta dengan batu bara, tanpa kehadiran mafia yang merajalela. Saya anak batu bara, tak akan pernah rela batu bara menjadi emas hitam yang membawa bencana. Batu bara harus dicerai-beraikan dari mafia. Mafia harus enyah, meski tak mudah, kita tak boleh menyerah, apalagi kalah. Haram manyarah waja sampai kaputing. Doa and do the best. Keep on fighting for the better Indonesia. (*)

Denny Indrayana
* Guru Besar Hukum Tata Negara UGM
* Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, HAM & Pemberantasan KKN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berikan komentarnya agar persaudaraan tetap terjalin. Terimakasih.